Penggunaan obat pelumpuh otot dalam
ruang operasi kini telah menjadi kebiasaan sehari-hari dan merupakan
perkembangan dan pertumbuhan penting dalam anestesi dan pembedahan. Akan tetapi
jika pasien dianestesi, mengapa kita perlu memberikan obat-obatan untuk
menghambat gerakannya? Pengenalan tentang pelumpuh otot atau yang lebih tepat
disebut sebagai penghambatan neuromuscular
ke dalam aplikasi klinis dalam 60 tahun terakhir merupakan batu lompatan dalam
sejarah anestesi. Penghambatan neuromuscular
secara khusus merujuk pada penghambatan transmisi oleh obat-obatan yang
berinteraksi dengan reseptor asetilkolin yang terletak pada sisi endplate motorik otot rangka. Relaksasi
otot rangka dapat dihasilkan melalui anestesi inhalasi yang dalam, blok nervus
regional, atau melalui obat penghambat neuromuscular
(umumnya disebut pelumpuh otot). Penggunaan obat-obat ini, seperti yang
disebutkan oleh Foldes dan rekannya tidak hanya
mencetuskan revolusi praktek anestesi tetapi juga memulai era modern
pembedahan dan memungkinkan prosedur-prosedur kompleks yang lebih jauh seperti
perkembangan pembedahan cardiothorax,
neurologik, dan transplantasi organ. Tentunya, obat ini kini rutin dipergunakan
untuk memfasilitasi penghambatan neuromuscular
pada intubasi endotrakhea dan ventilasi mekanis. Pada salah satu penelitian
dimana peneliti hanya menggunakan propofol (2,5 mg/kgBB) dan fentanyl (3
mg/kgBB) untuk melakukan intubasi tanpa penggunaan pelumpuh otot, dijumpai
angka kegagalan sebesar 65 %. (Bowman 2006; Butterworth 2013; Barash 2006; Miller 2011; Fink 2012)
Seperti yang diperlihatkan oleh curare, obat ini memiliki sifat khusus
dan bersifat unik karena pengetahuan tentang mekanisme kerjanya dan aplikasi
klinisnya dalam eksperimen fisiologi lebih luas daripada penggunaan klinisnya
selama hampir 1 abad. Curare
merupakan salah satu nama tumbuhan yang digunakan oleh suku Indian Amerika
Selatan sebagai racun pada ujung tombak atau anak panah mereka. Racun ini hanya
sedikit diserap melalui saluran cerna dan oleh karenanya, hasil buruan yang
dibunuh dengan curare aman untuk
dikonsumsi. Para pemburu ini mengembangkan suatu pengujian dini dengan
memperhatikan kekuatan kelumpuhan otot yang dialami hewan buruan mereka. Mereka
lalu menyebutnya dengan curare satu
pohon, dua pohon, dan tiga pohon. Dengan curare
yang kuat, seekor kera akan jatuh
lumpuh ketika memanjat pohon pertama. Sebaliknya, curare yang lebih
lemah
memungkinkan kera ini untuk memanjat dua sampai tiga pohon untuk melarikan
diri. (Bowman
2006)
Langkah farmakologik penting
berikutnya berada pada pengembangan konsep mekanisme kerja curare yang diambil dari eksperimen Langley pada tahun 1906 dan
1907 di Cambridge. Langley mempelajari cara kerja dan interaksi nikotin dan curare pada otot ayam dan katak,
meliputi otot katak yang telah didenervasi kronis. Nikotin merangsang otot
tersebut dalam dosis kecil tetapi menghambat stimulasi saraf pada dosis yang
lebih besar. Di tahun 1942, Harold Griffith mempublikasikan temuan penelitian
yang menggunakan ekstrak curare
(racun panah Amerika Selatan) selama anestesi. (Bowman 2006, Butterworth 2013)
Berikutnya, penghambatan nikotin
secara luas dikemukakan oleh Paton & Savini menurut penelitian mereka pada
kucing di tahun 1968. Pada eksperimen Langley, curare menghambat kerja stimulasi nikotin pada otot yang diinervasi
maupun yang didenervasi secara kronis, menunjukkan bahwa titik kerjanya lebih
banyak pada otot daripada di ujung saraf, sehingga tidak mempengaruhi respon
otot terhadap stimulasi langsung. Langley menyimpulkan bahwa nikotin dan curare
dapat berkombinasi dengan substansi reseptif otot spesifik, dan ia menemukan
bahwa impuls saraf yang melintasi tautan, bukanlah sebagai pelepasan muatan
listrik, akan tetapi sekresi zat yang saat ini kita sebut sebagai neurotransmitter.
(Bowman 2006)
Akan tetapi pada tahun 1954,
Beecher dan Todd melaporkan peningkatan mortalitas hingga enam kali lipat pada
pasien yang mendapatkan d-tubocurarine dibandingkan dengan pasien-pasien yang
tidak mendapatkan pelumpuh otot. Peningkatan mortalitas ini diakibatkan oleh
kurangnya pemahaman farmakologi penghambatan neuromuscular, tidak optimalnya ventilasi mekanis dan kurangnya
pemahaman mengenai antagonisnya. Pelumpuh otot sendiri tidak memberikan efek
induksi, amnesia, maupun analgesia sehingga perlu mengetahui mekanisme kerja,
dosis, dan efek sampingnya. (Butterworth
2013; Barash 2006; Miller 2011)