zian
berbagai teknik ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan
walaupun pasien telah mati, sehingga muncul persepsi baru. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak dan
bukan fungsi jantung dan paru . Ilmuwan, pemuka agama, pekerja kesehatan,
bahkan masyarakat umum secara luas telah
menyetujui bahwa seseorang dapat dikatakan meninggal apabila terjadi kematian
otak. Di Amerika Serikat, kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria
neurologis. (Walshe T.M. 2001)
Pada orang dewasa di Hongkong,
kematian otak yang diakibatkan oleh cedera kepala berat meliputi hingga sekitar
50% dari semua kasus, dan 30% lainnya diakibatkan oleh perdarahan intrakranial.
Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi. (So
Hing-yu. 1994)
Di
Amerika, penyebab utama kematian otak adalah cedera kepala dan perdarahan
subarachnoid. (Walshe T.M. 2001)
Batang
otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan tekanan
pada kompartemen supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai
darah atau integritas struktur otak. Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks
daripada batang otak. (So
Hing-yu. 1994)
Kriteria untuk kematian otak sendiri
berevolusi seiring waktu. Pada tahun 1959, Mollaret dan Goulon memperkenalkan
istilah “irreversible coma” atau koma
irreversibel, untuk mendeskripsikan
keadaan dari 23 orang pasien yang berada dalam kondisi koma, kehilangan
kesadaran, refleks batang otak, respirasi, serta menunjukkan hasil
elektroensefalogram yang datar. Pada tahun 1968, Komite ad hoc di Harvard
Medical School meninjau ulang definisi kematian otak dan mendefinisikan kematian
otak, sebagai tidak adanya respon, tidak ada pergerakan dan pernapasan spontan,
tidak ada reflex batang otak, serta adanya koma yang penyebabnya telah
diidentifikasi. Pada tahun 1976, The
Conference of Medical Royal Colleges di Inggris menyatakan bahwa kematian
otak adalah hilangnya fungsi batang otak yang komplit dan irreversibel. Pada tahun 1981, di Amerika Serikat, telah ditetapkan
keseragaman tentang penentuan kematian, yaitu „seseorang yang
menderita berhentinya fungsi dari respirasi dan sirkulasi yang irreversible atau berhentinya fungsi
dari seluruh otak termasuk batang otak yang irreversible,
adalah mati. Penentuan kematian harus dibuat berdasarkan standar medik yang
diakui“. (Doig C.J. 2003, Matta B.F, Menon D.K dan Turner J.M. 2000, Miller
R.D dkk.2009).
Menurut Peraturan Pemerintah RI no
18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta
transplantasi alat atau organ tubuh manusia, meninggal dunia adalah keadaan
insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi
otak, pernapasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti. Batasan mati
mengandung 2 kelemahan yang pertama pada henti jantung (cardiac arrest) fungsi
otak, pernapasan dan jantung telah berhenti namun sebetulnya kita belum dapat
menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan
resusitasi. yang kedua dengan adanya kata-kata „ denyut jantung telah berhenti“
maka ini justru kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena perfusi ke
organ-organ telah berhenti pula, yang tentunya akan mengurangi viabilitas
jaringan/organ. Diagnosis Mati Batang Otak (MBO) dan petunjuknya dapat dilihat
pada fatwa IDI tentang MBO. Diagnosa MBO mempunyai 2 komponen utama. Komponen
pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat (Tabel 1) dan komponen kedua
adalah tes klinis fungsi batang otak.
(Sunatrio S. 2006)